Rocky Gerung Menapikkan Prinsip Demokrasi Komunikasi
Opini Siang
Prinsip dasar demokrasi, kesetaraan di semua kehidupan sosial, tentu tak terkecuali bidang komunikasi. Karena itu, kesetaraan penggunaan simbol dan atau diksi yang dilontarkan ke ruang publik mutlak harus diindahkan oleh siapapun kepada siapapun.
Jika disimak ucapan Rocky Gerung yang dimuat pada link https://youtu.be/clkiGydUNm0, sebagai salah satu contoh dari banyak sekali yang ia kemukakan di ruang publik, sangat jauh dari prinsip kesetaraan sebagai prinsip dasar demokrasi komunikasi. Disadari atau tidak olehnya, Rocky Gerung telah menapikan prinsip demokrasi komunikasi itu sendiri.
Untuk “menyembunyikan” pilihan diksi dan makna yang tidak demokratis itu, menurut hemat saya, Rocky Gerung acapkali menggunakan pemikiran kuantitatif (mekanistis) dan kualitatif (prosessual) silih berganti sebagai tindakan pembenaran kepentinganya di ruang publik. Tentu, tujuannya membentuk opini publik yang menguntungkan dirinya, kelompoknya dan kepentingan di belakangnya.
Jika kepentingannya dapat terwujud dengan pemikiran mekanistis ia menggunakannya secara maksimal. Sebaliknya, pemikiran prosessual ia optimalkan bila menguntungkan agendanya. Dua pemikiran tersebut dimanfaatkan secara manipulatif sebagai tindakan membenarkan pandangan dan atau kritiknya.
Jadi, Rocky Gerung menurut hemat saya, lebih cenderung sebagai sosok pembenaran daripada menggali kebenaran untuk melahirkan solusi. Ia menggunakan akal sehat yang belum tentu benar dan juga belum tentu diproduksi dengan sehat akal.
Oleh karena itu, khalayak yang belum familier dengan dua pemikiran tersebut akan mudah tergiring atau termanipulasi dari struktur narasi dan argumentasi yang dikemukakan oleh Rocky Gerung.
Misalnya, kedaulatan itu ada di tangan rakyat bukan pada presiden demikian Ricky Gerung. Ini berbasis pada pemikiran mekanistis sebagaimana tertuang pada konstitusi kita. Selain benar secara normatif, kutipan Rocky Gerung ini salah satu didorong oleh karena menguntungkan dirinya. Sebab, hak-hak perogratif presiden yang ada dikonstitusi, seperti membuat UU bersama legislatif tentang komunikasi, misalnya larangan penyampaian/penyebaran hoax dan ujaran kebencian untuk membangun komunikasi adab di ruang publik tidak dikemukan oleh Roky Gerung.
Dari aspek aksiologi komunikasi, contoh diksi ujaran kebencian dari seseorang kepada seseorang apapun status sosialnya dan atau kepada program, seperti tolol, dungu dan bajingan.
Di sisi lain ia menggunakan
pemikiran kualitatif yang prosessual dengan mengatakan, presiden pememinta-minta suara rakyat. Dalam hal ini Rocky Gerung ingin membangun makna bahwa presiden setara dengan “peminta-minta”. Ia sedang mengkonstruksi realitas sosial tertentu di tengah masyarakat bahwa sosok presiden yang dia maksud lebih rendah daripada dirinya. Ia membangun makna bahwa dirinya orang superior daripada orang lain.
Dengan kata lain, ia sedang merendahkan keberadaan seseorang apapun status sosialnya yang ia kritik dan atau yang dia tidak sukai.
Padahal, nilai dasar demokrasi adalah egeliter atau kesetaraan di semua aspek sosial, temasuk dalam bidang komunikasi, seperti menggunakan pilihan diksi atau label (sebutan) kepada peran sosial seseorang dalam suatu komunitas (Negara).
Karena itu, saya mengajak masyarakat agar hati-hati terhadap pemikiran Rocky Gerung.
Salam,
Emrus Sihombing
Komunikolog Indonesia