Anggaran CSR Wajib bagi Perusahaan
Penulis : Matdio Siahaan,SE,.MM,CP.NNLP,CLMA
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis – Universitas Bhayangkara Jakarta Raya.
Sekarang Mahasiswa S-3 Konsentrasi Manajemen Kuangan – UNPAK Bogor, Jawa Barat
Permasalahan
Pertanyaan yang sering muncul bagi perusahaan ; Berapa Anggaran yang wajib diberikan oleh Perusahaan ? Besaran tersebut menjadi topik yang sering diperdebatkan oleh perusahaan – perusahaan Besar, karena mungkin terjadi kecurangan pada saat pendistribusian jumlah tersebut. Kalau kejadian ini di Desa, kepada siapa diberikan, apakah Kepala Desa atau masyarakat atau oknum tertentu yang mengurusi kegiatan operasional perusahaan tersebut. Hal ini, sebagian masyarakat mengklaim bahwa merekalah yang berhak menerima CSR tersebut dengan alasan bahwa tanah tersebut adalah punya nenek moyang mereka, atau merasa mempunyai kelompok marga terbesar didaerah tersebut atau yang pertama tinggal didaerah itu.
Undang-Undang berupa Solusi CSR
CSR atau Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) adalah komitmen Perseroan Terbatas (PT) untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas hanya mengatur bahwa pelaksanaan CSR/TJSL dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
Yang menjadi permasalahan sekarang , beberapa daerah telah menetapkan besaran minimal dana yang dialokasikan untuk CSR melalui Peraturan Daerah (Perda) misalnya Sebagai contoh, kami merujuk kepada Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 3 Tahun 2013 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas serta Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (Perda Kaltim 3/2013) Pasal 23 ayat (1) Perda Kaltim 3/2013 mengatur bahwa pembiayaan pelaksanaan TJSL dialokasikan sebesar minimal 3% dari keuntungan bersih perusahaan setiap tahunnya. Sehingga setiap perusahaan dan setiap daerah berbeda hal ini menjadi polemik atau perdebatan sejak CSR tersebut diatur melalui undang-undang, yaitu Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM) dan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT).
Yang menentang diundangkannya CSR berstandar pada pendapat bahwa konsep awal CSR adalah berdimensi etis dan moral, bukan kewajiban yang mengikat sehingga pada pelaksanaannya bersifat sukarela. Bahkan perdebatan tersebut berlanjut sampai ke gugatan Uji Materi ke Mahkamah Konstitusi (MK), yang akhirnya ditolak melalui Putusan MK Nomor 53/PUU-VI/2008 tanggal 15 April 2009. Dengan ditolaknya uji materi terhadap pasal dalam UUPT yang menyatakan CSR sebagai kewajiban yang mengikat itu, perdebatan tentang CSR seharusnya disudahi. Bahwa CSR adalah merupakan kewajiban yang mengikat, bukan sumbangan sosial yang bersifat sukarela.
Apakah Perusahaan Wajib Melaksanakan CSR ?
Pertanyaan ini sering menjadi perdebatan, karena beberapa pengusaha berdalih bahwa perusahaannya jenis dagang, bukan manufaktur dan bukan pertambangan, disamping itu perusahaan masih dalam ukuran kecil dan untung masih pas-pasan. Di dalam UUPT maupun PP Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas diatur bahwa yang wajib melaksanakan CSR adalah perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam, dan/atau perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. Apakah perusahaan dalam bentuk lain seperti CV, Koperasi, Firma dan sebagainya serta tidak mengelola sumber daya alam atau berkaitan dengan sumber daya alam tidak wajib melaksanakan CSR? jawabannya wajib. Karena selain UUPT dan PP Nomor 47 Tahun 2012, CSR juga diatur melalui UUPM khususnya Pasal 15 huruf b yang menyatakan bahwa setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Jadi setiap usaha yang melibatkan penanaman modal dengan bentuk badan hukum apapun ada kewajiban CSR yang melekat, tidak terbatas hanya dalam bidang usaha tertentu.
Meski telah terang-benderang CSR merupakan kewajiban yang melekat, pada kenyataannya masih banyak pelaku usaha yang memahami CSR merupakan masalah etik dan bersifat sukarela. Kebijakan seperti inilah salah satu penyebab, kenapa CSR tidak dilaksanakan, atau kalau dilakukan tidak jelas pendistribusian dan penerimanya. Hal ini yang harus dibenahi, dan posisi masyarakat atau kepala desa wajib tampil di depan dan transparan, baik untuk mendorong para pelaku usaha melaksanakan kewajibannya maupun memberikan edukasi kepada masyarakat bahwa ada hak masyarakat terkait CSR supaya tidak terjadi kecurangan
Sanksi kalau tidak dikeluarkan CSR
Ancaman sanksi itu ada dan cukup tegas dalam dalam Pasal 34 UUPM perusahaan yang tidak menjalankan CSR dapat dikenakan sanksi administratif berupa (1) peringatan tertulis; (2) pembatasan kegiatan usaha; (3) pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau (4) pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal.
Masalah yang timbul adalah soal anggapan bahwa CSR apakah bersifat sukarela dan besarnya berapa ? Dan masalah berikutnya soal siapa yang berwenang untuk assestmen apakah suatu perusahaan telah menjalankan CSR atau belum ? Atau sudah cukup bahwa Program CSR kami sudah ada dan sudah kami serahkan ke masyarakat tanpa jelas wujud pengguanaanya, kalua seperti ini CSR terkesan hanya formalitas dan asal-asalan. Kondisi itu pula yang kerap dimanfaatkan untuk kongkalikong/kecurangan dengan oknum-oknum aparat pemerintahan, bahkan perusahaan dijadikan semacam sapi perahan oleh oknum-oknum tersebut. Sehingga pada akhirnya tidak pernah ada sanksi yang dijatuhkan. Hal itu yang tidak boleh dibiarkan terjadi terus-menerus. Belum adanya UU yang secara tegas mengatur tentang besaran atau prosentase CSR maupun bentuk-bentuk penyalurannya, itu bukan alasan. Ukurannya adalah seberapa CSR memberi dampak positif atau dirasakan oleh masyarakat, terutama masyarakat sekitar perusahaan.
Peristiwa yang terjadi di Kampung saya, di Sumatera ada perusahaan besar, pengolahan kayu pinus atau eukaliptus menjadi bubur kertas (pulp) mengangkut pohon-pohon tersebut dengan berat kira-kira 20 ton, sementara jalan tidak mampu menahan berat tersebut, sehingga jalan sangat rusak. Padahal jalan itu menjadi urat nadi perekonomian di desa kami, sebaiknya perusahaan tersebut kalua tidak mau melakukan CSR untuk memperbaiki jalan tersebut segera ditutup daripada membawa sengsara kepada masyarakat setempat dimana lingkungan rusak, masyarakat sekitar tetap tidak maju, fasilitas umum minim, tingkat pendidikan rendah, masyarakatnya masih miskin, dan sebagainya.
Usulan Perbaikan
Untuk mengkawal pelaksanaan CSR perlu dibentuk satuan tugas yang khusus memonitor dan menangani masalah CSR dan Amdal, karena Amdal merupakan hal yang nyaris tak terpisahkan dari CSR. Jadi tugas pertama satuan tugas (task force) itu adalah menanyakan dan melakukan investigasi apakah suatu perusahaan sudah menjalankan CSR. Jika sudah, lalu menanyakan CSR itu diserahkan kemana atau kepada siapa. Berikutnya adalah apakah CSR itu memberikan dampak positif terhadap lingkungan dan masyarakat atau tidak. Sebaiknya harus distop dan dicegah agar dana CSR tidak mengalir ke kantong pribadi atau kelompok masyarakat tertentu ( baca bahasa batak : sisuan bulu/orang pertama tinggal dikampung tersebut) dan digunakan hanya untuk kepentingan pribadi oknum-oknum. CSR jika tertangani dengan baik, akan sangat membantu pemerintah pada pembangunan-pembangunan yang di luar ruang lingkup penyaluran CSR, sehingga dengan sendirinya membantu mengurangi beban anggaran negara baik melalui APBN maupun APBD.
Melalui CSR, seharusnya dapat dimanfaatkan untuk membangun negara tanpa menggunakan uang negara karena tidak sepenuhnya tergantung pada APBN dan baik itu di bidang kesehatan, lingkungan hidup, pendidikan dan pengembangan SDM, dan sebagainya. (Bahan : Disadur dari berbagai sumber CSR).